Jumat, 25 September 2015

22 Tahun


22 Tahun...
Alhamdulillah, sampai juga di usia yang sebelumnya gak pernah kebayang seperti apa...
Bersyukur dengan Allah untuk setiap kesempatan yang masih Dia beri untukku..
Tapi sumpah sepanjang malam bawaannya nangis mulu, rasa nya sedih dapat amanah 22 tahun tapi belum bisa manfaatin, apalagi pas sadar jatah hidup di dunia berkurang, Ahh Subhanallah.. nangiss lagi ini hahha (menmang akunya cengeng).

Baik lah, ini sekedar flashback di 22 tahun, bukan mengeluh atau bermaksud mundur dan kalah, karena semua ini sudah berlalu :D


Dulu sempat berfikir kenapa aku harus di lahir kan di dunia kalau hanya untuk merasakan pahit begitu pahit dunia ini? Kenapa aku harus punya orang tua seperti mereka yang menurutku (dulu) tidak pernah bisa memberikan kebahagiaan kepada anak? Kenapa aku tidak seperti anak lainnya yang dididik dan dibesarkan dari orangtua yang mencintai mereka dengan agama? Kenapa aku harus berada di tengah-tengah keadaan seperti ini?. Ahh DOSA, yah DOSA kalau ingat dulu pernah berfikiran seperti itu. Aku mengingkari semua nikmat Allah, Mudah-mudahan tidak pernah terulang, Aamiin :D


Menjadi anak pertama di tengah keluarga sederhana tidak pernah masalah buatku, punya orang tua yang bukan kaya raya tidak menjadi penyesalan untukku. Yang menyakitkan itu ketika aku tumbuh dan berkembang bersama ayah yang tidak pernah dengan baik menjalankan tugasnya sebagai ayah.

Disini aku gak pengen ceritain detail bagaimana dan seperti apa. Bagaimana pun dia, tetap dia ayah ku.

Sekitar 4 tahun lalu, yah tepat 4 tahun lalu di bulan September...

Dulu sebelum masuk bulan September, keluarga kami pernah memiliki toko baju di Stan Plaza Millennium hampir 3 tahun toko itu berjalan. Di tahun ke tiga pihak pemilik gedung mencabut hak sewa toko, mau tidak mau toko pun tutup. Sistem yang dijalankan ayah ku sistem TERM (Ambil barang, Bayar sesuai dengan jangka waktu yang di tentukan), otomatis dengan tutupnya toko, hutang juga banyak yang harus di bayar. Ayah ku seorang yang giat bekerja, pintar mengolah, dan genius dalam berbisnis, namun ayah ku belum bisa belajar caranya bersyukur, jadi apapun yang dia jalankan, apapun yang dia miliki, apapun yang dia kelolah tidak berkah. Pengangguran, mungkin itu status yang disandang ayah ku saat itu.

Mama, berbeda dengan ayahku...

Mama seorang yang takut melangkah, selalu mau cari aman, orang yang paling keras kepala, payah kalau udah berdebat sama mama, pasti ujung-ujungnya ribut hahhaha. Tapi pengorbanan mama untuk keluarga luar biasa, nyawapun dia berani korbani asalkan keluarganya baik-baik saja. Mama selalu menyimpan sakitnya di khianati ayah, mama selalu diam disakiti ayah, mama selalu mengalah untuk menyembunyikan perasaannya di depan kami anak-anaknya, mama gak pernah mau pisah sama ayah cuma hanya karena takut, kami malu, kami putus asa, atau kami hancur. Puluhan tahun disimpan cerita pahit berumah tangga di hidupnya. Bekerja siang dan malam untuk keluarganya, hutang kesana-kemari untuk modalin suami nya meskipun ujungnya yang bayar hutang-hutang itu mama sendiri, begitupun ketika kami anak-anaknya tau dia sedang menangis disebabkan tingakah ayah kami, dia selalu bilang "Nak, bagaimanapun ayah kalian memperlakukan mama, atau bertindak tidak baik di luar sana, dia tetap ayah kalian, jangan kalian pernah benci ayah kalian, sayangi ayah, do'ain ayah", selalu pesan itu yang keluar dari mulutnya, begitu cara dia mendidik kami, menanamkan arti keikhlasan untuk memaafkan. Mama harta paling berharga di dunia ini dalam hidupku, aku rela kehilangan semua untuk kebahagiaan mama (Kalau cerita masalah mama, gak bisa kalau gak nangis huhuhuhu :') ).

Setelah toko itu tutup, ayah gak kerja, hanya berharap dari gaji mama yang tidak seberapa, karena mama kerja di toko baju (pikir sendiri berapa gaji di toko baju). Ayah di kejar-kejar hutang, sisa hutang baju untuk jualan kemarin, selain itu ayah juga bingung untuk cari pekerjaan apa. Akhirnya terbesit pikiran untuk menggadaikan surat rumah nenek ke Bank. Ayah yang punya ide, ayah yang berusaha cari cara bagaimana surat itu bisa di gadaikan. Balik nama surat rumahpun ayah yang cari orangnya, Ngajukan ke bank sana sini, karena di tolak bank dengan alasan nama ayah sudah di blacklist. Begitupun tak berhenti usahanya, cari orang yang bisa proses, sampai akhirnya termbus di Bank Mega dengan nominal Rp.100.000.000,- dengan cicilan Rp.2.800.000,- selama 5 tahun. Mungkin hanya Rp.90.000.000 yang di terima. Mama saran ke ayah untuk lunasi semua hutang-hutang, tapi ayah hanya membayar setengah. Mama saran, keluari hak rumah mereka (Kakak-beradik mama, karena sebenarnya rumah itu ayah yang mau beli, tapi masih di bayar Rp.10.000.000,-) tapi ayah selalu membantah dengan alasan uang itu uang pinjaman, bukan untuk ngebayar rumah, akhirnya Ucu (Sebutan OM) yang di kasih sekitar Rp.20.000.000,- itupun dalam catatan 'Ikut Meminjam' dan ikut membayar selama 3 tahun. Dalam pengajuan pergadaian surat rumah itu, ada persyaratan untuk beli mobil pick up sebbagai penunjang usaha, jadi ayah beli dengan harga Rp.17.000.000,- tapi ayah bilang sama mama Rp.23.000.000,-  atau Rp.21.000.000,- (lupa tepatnya berapa), Adikku masuk sekolah SMK IT, harus memiliki laptop, di belikan laptop seharga Rp.5.000.000,-. Dan mimpi ku dari dulu adalah kuliah menjadi seorang sarjana, uang sekitar Rp.5.000.000,- di keluarkan untuk aku kuliah keguruan di UMSU, sebenarnya ayah ngelarang karena ayah maunya aku kuliah tahun depan, uang itu di jadikan modal usaha dulu, tapi aku ngotot mau kuliah, akhirnya aku kuliah. Mama dilarang kerja, tapi mama tetap mau kerja, karena usaha itu ayah seharusnya bisa jalani sendirian. Berdebat panjang sepanjang hari usaha apa yang mau di buat. Rencana punya rencana ujung cerita ayah jualan ikan, pertama modal Rp.10.000.000,- (kalau tidak salah nominalnya segitu) tapi hasilnya nihil dalam jangka waktu beberapa hari. Di tambahi lagi modal terus begitu dan akhirnya sampai pinjaman bank itu tersisa Rp.1.000.000,- ayah merengek merajuk di dalam pick up minta sama mama supaya uang itu di ambil dari ATM BRI di jalan Batang Kuis untuk di jadikan modal.HABIS, yah habis tanpa tersisa, habis tanpa kelihatan.


Berlalu, terpuruk, habis, hilang, kebiasaan ayah hanya tidur-tiduran di rumah, main game di laptop adek sampai laptopnya berkali-kali rusak. Aku paling gak suka dan gak bisa lihat laki-laki begitu. Sementara mama disana banting tulang ngikat pakaian bergoni-goni, ngantar berpuluhan kilo pakaian ke pengiriman barang, manjat-manjat untuk memajang pakaian di sepanjang toko baju milik orang, anak mana yang gak kecewa dengan sikap ayahnya yang begitu??. Dengan tidak bekerja nya ayah, dengan tidak tahu nya bayar bank bagaiman ( karena gaji mama gak cukup dan gak pernah cukup untuk bayar cicilan bank) dan disaat itu ujian semester 1 di mulai, mulai bayar ini bayar itu. Dengan kondisi keuangan yang sedemikian rupa, aku gak pernah tega kalau harus ngelanjutin kuliah. Melepaskan. Yahhh itu pembelajaran pertama aku melepaskan, sesudah kemarin pernah bermimpi lulus PTN maka dari itu sebelum ujian PTN di mulai, pagi siang malam bahas soal PTN terus sampai akhirnya malam besoknya mau ujian, mama dan ayah bertengkar yang berakibatkan aku ngeBlank, kecewa sih tapi aku belum paham arti melepaskan 'Satu' mimpi. Salah satu hal terberat dalam hidup ku adalah "PUTUS KULIAH", rasanya pengen nangis, pengen teriak, sampai pengen mati, karena kuliah dan jadi sarjana itu impianku dari kecil, jadi wajar rasanya kalau aku terpuruk saat itu. Teman-teman yang mulai tanya kenapa gak masuk kuliah, aku hindari untuk menjawab. Nangis, hari-hari ku cuma nangis. Tapi itulah, aku harus mengorbankan mimpi itu untuk orang tua ku.


Hari berlalu semakin lama semakin menyakitkan, ayah yang terus-terusan seperti itu, tidur-tiduran, nonton tv, main game, kadang keluyuran gak jelas. Hari-hari mama sama ayah ribut, hari-hari mama mempertanyakan bagaimana bayar uang bank, hari-hari mama kesal dengan tingkah ayah yang hanya tiduran tanpa cari kerja, sampai suatu hari ayah hutang kepada kakaknya untuk buka 'Warung Burger'.


-Bersambung-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar